Monday, February 16, 2009

Ancaman Pemanasan Global

Ancaman Pemanasan Global

TEMA pemanasan global menjadi topik penting dunia abad ini. Berbagai negara di dunia, kecuali Amerika Serikat, terpanggil untuk mengatasi permasalahan besar umat manusia. Ini menunjukkan perang bukan lagi ancaman besar. Secara nyata dan pasti, es di kutup utara sudah mulai mencair sebagai efek pemanasan global.Apa saja yang menjadi dampak pemanasan global itu?

Emisi gas buang dari asap mobil dan motor, AC di perkantoran dan perumahan, efek rumah kaca, gas-gas karbon dari pabrik, sampai pada pembakaran dan penebangan hutan yang serampangan, dan tentu saja walau agak diabaikan, uji coba senjata nuklir, perang, ikut memberi andil pemanasan global.

Hari ini pemanasan global menjadi musuh bersama para pemimpin dunia. Gejala alam kali ini, mencairnya es di kutub dikaitkan dengan pemanasan global. Semua ini karena ulah tangan-tangan manusia sebagai dampak dari industrialisasi, pertumbuhan penduduk yang amat cepat, habisnya lahan-lahan hutan untuk pertanian dan perkebunan atau berganti menjadi padang tandus, uji coba senjata pemusnah massal dan sebagainya.

Cepat atau lambat, dampak dari pertumbuhan penduduk serta industrialisasi pasti merambah kepada pemanasan global seperti yang kita rasakan hari ini. Perubahan musim yang sulit dideteksi para petani, banjir yang datang mendadak, menjadi petaka bagi umat manusia karena itu.

Bila ditarik ke belakang, pada zaman Nabi Nuh as. terjadi banjir besar yang memusnahkan sebagian umat manusia. Konon menurut para pakar lingkungan, es di kutub utara masa itu mencair. Dampaknya, sebagian umat manusia lenyap disapu air bah setinggi gunung. Menurut kitab Taurat, Injil dan Al Qur’an, menyajikan kisah-kisah unik tadi berupa perahu Nabi Nuh yang menyelematkan manusia dan satwa.

Namun, di era industrialisasi abad 21 ini, kasusnya tidak sama dengan era Nabi Nuh bukan? Boleh dikatakan bertolak belakang. Gejala-gejala alam masa dahulu kala itu kemungkinan terjadi karena adanya pengaruh dari planet-planet lain di angkasa sehingga menimbulkan banjir besar.

Pemanasan global kini disikapi sebagai ancaman serius umat manusia. Para pemimpin dunia mewaspadai berbagai dampak yang bakal terjadi ke depan, bumi makin panas akibat ulah manusia yang menimbulkan kerusakan alam lingkungannya. Kecerdasan manusia berbuah kepada manusia juga, termasuk petaka yang ditimbulkannya. Inilah dinamika hidup kemanusiaan yang fana ini.

Untuk mengantisipasinya, pada 3-14 Desember mendatang, para pemimpin dunia akan berhadir di Denpasar, Bali untuk menyambut Konferensi Tingkat Tinggi Dunia (KTT) tentang Perubahan Iklim. KTT akan membahasa berbagai upaya penanggulangan ancaman perubahan iklim tadi dengan berbagai langkah. Di antaranya yang paling utama dan amat mendesak adalah upaya penghijauan di seluruh kawasan dunia.

Sebelum keruntuhan peradaban umat manusia terjadi, para pemimpin harus menyikapi perubahan iklim ini dengan amat serius dan menjadi skala perioritas. Tetapi, sungguh kurang tepat bila Indonesia yang dianggap sebagai paru-paru dunia hanya dibebankan penanam kembali kawasan hutan yang sudah gundul tanpa biaya dari negara-negara maju yang beroleh oksigen dan udara bersih dari pepahononan hutan Indonesia. Maka, dalam kerangka tersebut Indonesia berkepentingan untuk memberikan beban kepada negara-negara kaya mensubsidi Indonesia. Dari merekalah munculnya perubahan iklim yang berdampak pada pemanasan global.

Negara-negara maju dituntut mengurangi efek rumah kaca, emisi gas buang karbon sebagaimana tercantum dalam Kesepakatan Kyoto di Jepang. Dalam hal ini, Amerika Serikat harus didorong untuk bergabung guna mengatasi masalah di negaranya. Hanya Amerika saja yang kini membandel untuk menolak ikut dalam mengatasi pemanasan global.

Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan akan memprogramkan 79 juta pohon di Indonesia. Riau dikabarkan mengambil peran dengan 700.000 pohon. Aktivis perempuan akan menanam 10 juta pohon di Indonesia.

Lalu Aceh berapa pohon? Pemanasan global menjadi masalah kita, masalah dunia. Aceh hari ini masih dianggap sebagai paru-paru dunia. Mari kita pertahankan bersama dengan qanun yang tegas. Seulawah yang dahulu sejuk kini panas. Leuser kian panas. Dataran Tinggi Gayo pun kian panas. Mari dinginkan kembali hutan-hutan kita yang sempat tergunduli.

Dampak Pemanasan Global

Dampak Dari Pemanasan Global
Dampak dari pemanasan global adalah sejumlah keanekaragaman hayati terancam punah akibat peningkatan suhu bumi. Akibat pemanasan global, setiap spesies juga harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dimana habitatnya terdegradasi atau mengalami penurunan kualitas. Setidaknya sebagai makhluk yang tinggal satu atap di planet bumi, kita tak akan membiarkan bumi ini kian lama kian meradang. Strategi pertama dan utama yang lebih baik dilakukan untuk mengurangi efek pemanasan global. Tentu saja adalah dengan mengubah perilaku individu, karena pemahaman terhadap efek dari pemanasan global yang ditanamkan hari ini berdampak besar pada generasi mendatang di kemudian hari, seperti menghemat penggunaan air dan lebih berhemat pada pemakaian listrik.


Pemanasan global terjadi karena terlalu banyak gas rumah kaca yang lepas di atmosfer. Gas rumah kaca didominasi oleh karbondioksida (CO2). Sebagian besar CO2 dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Atas dasar itu, penghematan dalam pemakaian listrik secara tidak langsung juga akan mengurangi kadar CO2 di atmosfer. Selain itu, efek pemanasan global dapat direduksi dengan melakukan penanaman pohon. Oleh karena CO2 dipergunakan tanaman untuk fotosintesis, maka penanaman pohon dalam jumlah banyak dapat menjadi solusi.

Pada titik ini, penanaman pohon secara massal perlu dilakukan, misalnya dengan membuat taman kota dan hutan kota serta menggalakkan kewajiban menanam pohon bagi instansi, perumahan atau lembaga lain. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor sebagai penyumbang sumber CO2 terbesar di wilayah perkotaan juga perlu diantisipasi dengan mengubah perilaku hidup.

Perlu diingat, sekitar 70 % pencemaran udara dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Upaya mengurangi efek pemanasan global dapat juga dilakukan dengan mencari energi alternatif. Penggunaan energi alternatif yang dapat diperbaharui perlu dilakukan di Indonesia. Pembangkit listrik di Indonesia kebanyakan menggunakan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam dimana ketiganya mengeluarkan CO2. Jadi, semakin kita boros menggunakan listrik, semakin banyak CO2 yang dikeluarkan. Daripada terus-menerus boros listrik dan pemerintah harus membangun pembangkit listrik berbahan fosil baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, alangkah lebih baik jika melakukan penghematan dalam penggunaan listrik.

Dengan melakukan penghematan listrik, anggaran pemerintah untuk subsidi listrik yang besar bisa dipakai untuk membangun pembangkit listrik dengan energi bersih, seperti sinar matahari, air, angin, biomassa, dan panas bumi. Sisi lain yang tak mungkin dilupakan untuk mencegah pemanasan global adalah dengan upaya pelestarian hutan.

Masyarakat dan pemerintah harus berupaya bersama-sama dalam menjaga hutan dari kebakaran. Negara-negara lain memandang kebakaran hutan yang kerap kali terjadi di Indonesia merupakan penyumbang CO2 terbesar di dunia. Bahkan, diwartakan di beberapa media massa bahwa Indonesia dituding menjadi negara ketiga penyumbang pemanasan global karena penebangan dan pembakaran hutannya yang cukup besar. Begitu juga dengan memperbaiki kualitas kendaraan dengan uji emisi dapat mereduksi efek dari pemanasan global. Uji emisi merupakan sarana untuk memperoleh kepastian mengenai kinerja mesin kendaraan apakah dalam kondisi prima atau sebaliknya.

Melakukan uji emisi dengan benar terhadap kendaraan bermotor perlu dilakukan karena mesin yang prima akan mengeliminir pembuangan gas karbon sehingga dapat ikut menjaga lingkungan dan hemat bahan bakar. Perlu juga dilakukan adalah dengan membina kelompok pelajar, mahasiswa, dan masyarakat pecinta lingkungan untuk bersama-sama berjuang mengatasi efek dari pemanasan global.

Upaya sadar lingkungan harus mulai digerakkan sedini mungkin pada anak-anak dan remaja. Yang jelas, strategi dan upaya untuk mereduksi efek pemanasan global haruslah didukung oleh segenap pihak. Meskipun hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung dan cepat, upaya mengatasi dampak pemanasan global yang dilakukan saat ini akan dirasakan manfaatnya kelak. Efek pemanasan global tidak dapat dicegah hanya melalui individu, melainkan membutuhkan kerja sama semua pihak. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kita memulai upaya sadar lingkungan mulai saat ini demi generasi yang akan datang. Mari bertindak nyata demi masa depan bersama.

Pemanasan Global Dapat Diperlambat

Pemanasan Global Dapat Diperlambat

Setelah PBB mengeluarkan laporan mengenai kian memburuknya pemanasan globalsehingga para ahli dan wakil pemerintahan, Senin lalu, mulai membahasnya. Bersama aktivis lingkungan dan dengan komitmen untuk mengakhiri perdebatan di antara mereka, para ahli bertemu di Bangkok untuk menilai laporan PBB tersebut. Tujuan pertemuan tersebut adalah sebuah draft solusi sudah dapat digulirkan pada akhir pembahasan pada Jum’at (27 April 2007). Pertemuan tersebut diikuti lebih dari seratus negara yang menilai bahwa perbaikan lingkungan berbiaya murah sudah habis masanya karena meningkatnya emisi gas rumah kaca.

Ini merupakan survei ketiga dalam tahun yang sama oleh tim panel cuaca PBB, setelah penelitian pertama pada bulan Februari mengungkapkan bahwa 90 persen responden yang ditemui mengatakan bahwa manusia merupakan pihak yang disalahkan atas pemanasan global, dan penelitian kedua pada 6 April lalu yang menunjukkan adanya wabah kelaparan, kekeringan, dan naiknya ketinggian air laut. “Kita sedang melangkah untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan perubahan iklim global. Kita pasti dapat melakukannya.” Achim Steiner, kepala program liongkungan PBB mengatakan kepada Reuter dalam laporannya kepada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). “Kami telah memahami masalah yang kini kian mebesar dan IPCC telah membuka pandangannya bagi berbagai solusi yang ada dan dapat dilakukan bersama,” ungkapnya kepada Reuters.

Laporan tersebut memperkirakan bahwa menstabilkan emisi gas rumah kaca saja membutuhkan 0.2 hingga 3.0 persen dari GDP masyarakat dunia pada tahun 2030, tergantung tingkat kesulitan pertumbuhan emisi gas rumah kaca. Pertumbuhan GDP dunia, berdasarkan beberapa perkiraan, akan sangat rendah akibat meningkatnya penyakit akibat penggunaan bahan bakar fosil yang meningkatkan pemanasan global. Adapun draft yang disusun bersama mengungkapkan bahwa “Ada potensi ekonomi yang signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di seluruh bidang dalam satu dekade ke depan termasuk menekannya hingga tingkatan di bawah ambang batas.

Kesimpulan itu diungkapkan oleh mantan kepala Bank Dunia yang juga pakar ekonomi Nicholas Stern, yang memperkirakan biaya yang diperlukan untuk mengurangi pemanasan global mencapai satu persen dari pengeluaran seluruh negara di dunia. Jumlahnya meningkat antara 5 hingga 20 persen bila tindakan pencegahannya ditunda. ada seribu lebih amandemen persetujuan yang disusun dalam dokumen 24 halaman bagi para pengambil kebijakan, sekalipun beberapa negara menilai rancangan ini terlalu berat bagi mereka dan terlalu banyak memuat jargon ilmiah semata.




Solusi Global Warming

Solusi Global Warming

Pada dasarnya, yang harus kita lakukan adalah mengurangi semaksimal mungkin segala ak­tifitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Ada 5 (lima) hal utama yang dapat Anda lakukan untuk menyelamatkan planet bumi:

1. Berhenti atau kurangilah makan daging!
2.
Batasilah emisi karbon dioksida!
3.
Tanamlah lebih banyak pohon!
4.
Daur ulang (recycle) dan gunakan ulang!
5.
Gunakan alat transportasi alternatif untu mengurangi emisi karbon!

Penyakit Muncul Akibat Pemanasan Global

Penyakit Muncul Akibat Pemanasan Global



Jakarta (ANTARA News) - Berdasarkan Data Organisasi Kesehatan dunia (WHO) sepanjang tahun 1976-2008, sebanyak 30 penyakit baru muncul akibat perubahan iklim dan pemanasan global.

Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, Amanda Katil Niode di sela-sela penganugerahan Raksaniyata 2008 di Jakarta, Jumat mengatakan, munculnya penyakit ini karena temperatur suhu panas bumi yang terus meningkat.

"Yang paling jelas kelihatan penyakit demam berdarah, kolera, diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan," katanya.

Menurut Amanda Katil Niode, masalah kesehatan akibat pemanasan global memang sangat dirasakan parahnya oleh negara-negara berkembang yang sebagian masih miskin, karena minimnya dana sehingga tak mampu lagi melaksanakan berbagai program persiapan dan tanggap darurat.

Untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim terhadap kesehatan manusia itu, tidak bisa dilakukan sendiri oleh masing-masing negara.

Upaya itu baru akan berhasil jika dilakukan melalui kerjasama global, seperti misalnya meningkatkan pengawasan dan pengendalian penyakit-penyakit infeksi, memastikan penggunaan air tanah yang kian surut, dan mengkoordinasikan tindakan kesehatan darurat.

"Itu semua penting dilakukan, karena perubahan iklim jelas-jelas akibat dari kegiatan manusia yang tak peduli terhadap keseimbangan alam, yang kemudian berimplikasi serius terhadap kesehatan publik," ujarnya.

Selain menyebabkan gangguan kesehatan, perubahan iklim juga mengakibatkan berbagai bencana alam yang sangat besar. Sepanjang tahun 2006 telah terjadi 390 bencana besar di dunia yang banyak menelan korban.

"Amerika Serikat paling banyak terjadi bencana dibanding negara-negara lain, tetapi untuk jumlah korban paling banyak saat tsunami terjadi di Aceh pada 2004 lalu," jelasnya.

Di Indonesia sendiri, kata dia, bencana alam banyak terjadi akibat kesadaran masyarakat yang lemah, seperti pembalakan liar, kebakaran hutan, dan pembuangan karbon dioksida (CO2). Agar bencana alam dapat diminimalisir diperlukan sinkronisasi antara pemerintah, dunia usaha dan individu.

Sunday, February 15, 2009

Penyebab Pemanasan Global

Variasi Matahari

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

Efek Rumah Kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari.Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.

Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Peternakan (konsumsi daging)

Dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir! IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.
Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan hutan.

Tetapi, menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, "industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia!

Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen karbon dioksida, 37 persen gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65 persen dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih lebih kuat dari CO2). Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.

Peternakan juga telah menjadi penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air. Saat ini peternakan menggunakan 30 persen dari permukaan tanah di Bumi, dan bahkan lebih banyak lahan serta air yang digunakan untuk menanam makanan ternak. Menurut laporan Bapak Steinfeld, pengarang senior dari Organisasi Pangan dan Pertanian, Dampak Buruk yang Lama dari Peternakan - Isu dan Pilihan Lingkungan (Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Options), peternakan adalah "penggerak utama dari penebangan hutan .... kira-kira 70 persen dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Selain itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah. Kira-kira 20 persen dari padang rumput turun mutunya karena pemeliharaan ternak yang berlebihan, pemadatan, dan erosi. Peternakan juga bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat banyak. Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan untuk menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85 persen dari sumber air bersih di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga menimbulkan limbah biologi berlebihan bagi ekosistem.

Konsumsi air untuk menghasilkan satu kilo makanan dalam pertanian pakan ternak di Amerika Serikat

Efek Umpan Balik

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

Pemanasan Global

Pegertian Pemanasan Global

Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.